Gadis Dari Piccadilly
Gadis itu disana, dipertigaan jalan antara museum dan kedai kopi. Dia menyanyikan lagu “Right Here Waiting” diiringi suara gitar dan keyboard. Si Pria memperhatikan grup musik jalanan itu. Lagu yang dibawakan oleh si gadis sangat merdu dan menyentuh hati siapa saja yang mendengarnya. Lagu favoritnya menjadi semakin disukainya karena cover dari gadis itu. Moran menyesap Americano-nya, lalu berjalan menuju kerumunan yang mengelilingi musisi jalanan tersebut. Moran cukup tinggi untuk melihat si gadis menyanyi dibalik kepala-kepala yang menonton mereka. Agak lama ia berdiri, bahkan ketika lagunya selesai dan kerumunan mulai bubar, Moran tetap berdiri disana.
“Sumbangannya, Sir?” si gadis penyanyi menawarkan topi berisi koin dan beberapa uang kertas. “Lagu yang indah, nona.” Puji Moran sambil memasukkan beberapa lembar uang pound. “Lagu-lagu era 80-an memang bagus-bagus,” gadis muda itu terkekeh. Moran mengangguk setuju. “Jika saya datang lagi kesini besok, apakah saya akan menemukan anda dan teman-teman menyanyi lagi disini?” “Sayangnya tidak, Sir. Besok saya sudah akan pergi ke Baskerville karena lusa sekolah akan dimulai kembali.” “Ah, begitu ya. Liburan musim panas sudah hampir berakhir rupanya.” Gadis itu mengangguk. “Jika sir mau, saya rasa kami bisa menampilkan satu lagu lagi untuk sir.” “Satu lagu khusus yang sir minta.” Tambahnya. Moran tertawa. “Tidak perlu nona. Saya tidak bisa mengganggu waktu kalian. Jika berkesempatan, mungkin kita bisa bertemu lagi disini, mungkin liburan musim panas selanjutnya.” “Semoga, sir.” Kata si gadis. “Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu. Nona.” Moran mengangkat topinya. Gadis itu mengangguk, “sampai jumpa lagi, sir yang baik.” Mereka berdua berbalik, melangkah menjauh dari masing-masing, menuju arah yang berbeda. Sebenarnya, Moran masih ingin lebih lama melihat gadis itu. Bohong jika Moran tidak tertarik dengannya. Gadis itu memiliki rupa yang sulit dilupakan jika telah dilihat sekali. Dan Moran ingin melihatnya lagi, lebih lama. ‘Sekarang atau tidak sama sekali.’ Batin Moran. Dia berbalik, memandang pertigaan tadi tempat si gadis dan teman-temannya mengamen. ‘Sudah tidak ada disana.’ Gadis itu sudah menghilang dari pandangan. Moran termenung. Tidak menyangka akan merasa kehilangan seperi ini saat gadis itu pergi. “Padahal hanya mengobrol lima menit.” Gumamnya.
JIka... jika Moran kembali lagi ke Piccadilly, ke pertigaan antara museum dan kedai kopi ini tahun depan, apakah dia bisa bertemu lagi dengan gadis itu? Ataukah Moran harus mencari gadis itu sekarang? Tapi dimana? Dia tadi bilang Baskerville? Apakah Moran harus ke Baskerville? Memeriksa setiap sekolah demi mencari gadis itu? Pertanyaan-pertanyaan ini menggema dalam kepala Sebastian Moran.
Moran mengusap wajahnya, menarik napas dan mengembuskannya kasar. Overthinking bukan gayanya. “Tinggal kembali lagi saja tahun depan, ‘kan.” Gumamnya lagi. “Irene Adler, aku akan kembali kesini liburan musim panas selanjutnya. Semoga kita bertemu lagi di pertigaan ini.”
Oh, can’t you see it baby You’ve got me going crazy
Wherever you go Whatever you do I will be wait here waiting for you Whatever it takes Or how my heart breaks I will be right here waiting for you